BISAKAH KITA BERFIKIR

3 November, 2008 at 4:34 pm (Uncategorized)

Di dunia ini ada 2 tipe orang; pertama thinker/conceptor, yakni orang yang terus berpikir menemukan suatu konsep, sistem, metode ataupun pemikiran baru. Orang tipe ini cenderung menganalisis suatu masalah dahulu sebelum memberikan tanggapan. Kedua, follower, yakni orang yang kalau disuruh berpikir akan berat untuk melaksanakan, dia memilih sebagai eksekutor. Orang seperti ini cenderung memberikan tanggapan tanpa dipikir secara mendalam, langsung nyeplos. Orang seperti ini pula, peran sertanya sebagai agent of changes sangat kecil.

Ada 3 buku yang mengajak saya untuk berpikir. Buku yang pertama adalah bukunya Robert T. Kiyosaki, yang berjudul Cashflow Quadrant (tahun 2001). Dalam buku tersebut ada kisah menarik dari Henry Ford; pendiri dari Ford Company. Tahukan mobil produk Ford yang pernah menjadi sponsor Euro 2006 dahulunya banyak dipakai untuk taksi di Indoneisa? Tahukah jika Henry Ford belum pernah merasakan bangku kuliah? Lewat perusahaannya, Ford menjadi jutawan terkenal di jamannya, sebelum PD II.

Pada tahun 1900-an mobil masih langka sehingga harganya mahal dan sedikit yang memilikinya. Melihat kenyataan tersebut, Henry Ford, lulusan SMU dan ahli mesin mempunyai impian untuk membuat mobil massal yang murah sehingga banyak orang yang dapat memilikinya. Dia kerja keras di dalam bengkelnya untuk mewujudkan impiannya itu. Teman, tetangga dan koleganya hanya mencibir, mengejek dan mengatakan dia hanya melakukan kegiatan yang sia-sia, kegiatan yang tidak akan terwujud. Hanya istrinya yang memberikan support. Kegigihan dalam mewujudkan impiannya tidak sia-sia, dia berhasil membuat mobil impiannya yang murah. Tak lama kemudian dia menjadi jutawan di perusahaannya.

Suatu saat ada beberapa orang ahli mengejek Ford, meremehkannya bahwa dia tidak tahu apa-apa di bidang mesin, manajemen, ekonomi, dlsb. Kemudian Ford mengundang orang-orang yang meremehkan itu dalam suatu diskusi di kantornya. Ford menantang orang-orang itu agar memberikan pertanyaan yang sulit kepadanya. Ford akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit tersebut. Akhirnya semua orang yang meremehkannya memberikan pertanyaan yang dianggap paling sulit ke Ford. Setelah selesai mencatat pertanyaan itu, Ford meraih gagang telepon di meja depannya dan menelepon pegawainya yang ahli di bidang mesin, manajemen, ekonomi, dlsb. Pegawainya diminta menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Setelah semua pertanyaan selesai terjawab, Ford mengatakan ke semua tamunya; ”Pekerjaanku hanyalah berpikir.” Ford mengatakan lagi sambil tersenyum memandang ke tamunya; ”Berpikir itu pekerjaan yang paling sulit di dunia, untuk itulah hanya sedikit yang melakukannya.”

Buku yang kedua adalah bukunya Harun Yahya, Deep Thinking (tahun 2001). Isi buku ini mengajarkan bagaimana kita berpikir. Yang pertama kali wajib untuk dipikirkan secara mendalam oleh setiap orang adalah tujuan dari penciptaan dirinya. Setiap perjalanan hidupnya dipikirkan, baik ketika bangun dari tidurnya, saat makan, dalam perjalanan, ketika mengerjakan sesuatu, dan lain sebagainya.

Buku yang ketiga adalah berjudul Can Asians Think?, Bisakah Orang Asia Berpikir?(tahun 2005) karya Kishore Mahbubani. Penulis adalah kolumnis tingkat dunia dari Singapura, keturunan India. Sangat menarik membaca buku ini. Pertanyaan yang diajukan sensitif dan provokatif bagi bangsa-bangsa Asia karena bisa menyinggung harga diri dan identitas mereka. Tentu saja pertanyaan itu tidak ditujukan kepada bangsa-bangsa maju, seperti Eropa, Amerika Utara, Australia, Asia Timur (Jepang, Korsel dan China) dan Singapura. Pertanyaan ini pula pantas ditujukan kepada bangsa kita yang baru terpuruk dalam segala bidang.

Menurut Mahbubani, ada tiga jawaban yang bisa diberikan atas pertanyaan itu: ”Tidak”, ”Bisa” atau ”Mungkin”. Barangkali jawaban cenderung ke ”Mungkin”, sebab terdapat sejumlah alasan untuk mengatkan ”Tidak” atau ”Bisa”. Mampu mengatakan ”Bisa” jika bertolak pada harga dirinya, atau mengatakan ”Tidak” jika melihat fakta sejarah dan kondisi aktual. Jika dipersentasekan, 50% akan menjawab ”Mungkin”, 20% ”Tidak” dan 30% ”Bisa”. Pola jawaban pun tergantung pada kelompok yang ditanyai, politiso, pengusaha, budayawan, masyarakat awam atau cendekiawan.

Jika bangsa seperti Indonesia mampu menemukan pertanyaan seperti itu, maka itu tandanya bangsa itu sebenarnya mampu berpikir. Menurut Mahbubani, bangsa-bangsa barat mungkin tidak suka jika pertanyaan seperti itu muncul pada suatu bangsa di Dunia Ketiga. Sebab menurutnya, bangsa-bangsa yang menyadari kelemahannya, bisa jadi justru bangkit dan mencapai derajat kesuksesan seperti bangsa-bangsa Barat. Lihat China mampu berkembang hanya dalam tempo 10 tahun, dibandingkan dengan Inggris 58 tahun, AS 47 tahun, dan 33 tahun bagi Jepang. Indonesia bisa dianggap seperti China pada masa Orde Baru jika tidak dilandai krisis 1997.


Tinggalkan komentar